Friday, June 1, 2012

Cinta itu Hilang?

A hectic friday, indeed. Saat berusaha mengistirahatkan otak saya yang mulai melepuh, saya iseng - iseng buka account salah satu social media. Dan salah satu rekan saya berkomentar begini, "...cinta tidak muncul begitu saja sangat membantu pemahaman bahwa dia juga tidak akan hilang begitu saja." Terus lanjut lagi begini, "cinta tidak pernah hilang begitu saja...kamu hanya sibuk memperhatikan dan meladeni yang lain." Dan lagi - lagi (rasanya saya mesti cuti dalam hal ini), sel - sel neuron di otak saya mulai berakomodasi maksimum. Pheww. Saya jadi berpikir lagi dan berusaha mengingat - ingat apakah saya salah satunya.

Kalau kamu sendiri bagaimana? Mungkin kamu pernah berhubungan dengan seseorang sekian lama, punya kedekatan dan lalu sadar n ga sadar tuh cinta tumbuh perlahan - lahan. Terus ada kejadian yang bikin hubungan kalian berhenti. Kamu dan dia lalu sibuk dengan aktivitas kalian masing - masing, cari pasangan baru trus berdeklarasi kalau kamu sudah ga cinta lagi sama dia. Jadilah saya (karena efek tulisan teman saya itu) bertanya, benar ga sih seperti itu? Apakah benar ketika kita berbagi hidup dengan seseorang lalu muncul si cinta itu trus hubungan retak karena satu dua hal terus bilang kita tidak cinta lagi atau kita bilang kita pernah cinta dia dan sekarang tidak lagi.

Dan ditengah - tengah pekerjaan yang menumpuk saya bertanya, apakah cinta itu begitu mudah hilang seperti kita makan, di olah di perut trus masuk ke jamban? (upps, jadi agak sedikit vulgar). Kalau cinta seperti itu, buat saya itu bukan cinta. Itu namanya kalau makan ya nyicip nyicip aja. Itu cuma perasaan yang suka berubah - ubah. Cinta itu (lagi, menurut gue) ya menetap karena ada proses, ada pembiasaan. Ga cuma melibatkan aspek emosi tapi juga kognitif yang akhirnya jadi perilaku (nah loh). Mungkin itu sebabnya sang bunda selalu rewel dalam hal urusan cinta - cintaan. Kenapa? Ya karena hati kamu itu cuma satu, kalau sering bolong, sama seperti ember yang berlubang, tidak ada isinya. Akan habis air yang kamu bawa selama perjalanan. Kecuali kalau di isi es batu atau benda padat lain. Tapi hati, pikiran dan perasaan kamu bukan batu, kan? Darr. Tambah bingung. Suka analogi yang aneh dan bikin tambah mikir.

Ok, sekarang mari kembali lagi ke saya yang sedang berusaha merefleksikan diri. Beberapa waktu lalu saya juga terlibat percakapan tentang ini juga. Hanya saat itu saya begitu pasifnya sehingga hampir seluruh pertanyaan saya jawab dengan iya saja. Mudah, tidak perlu mikir dan tidak mengecewakan lawan bicara saya (menurut saya). Lagi - lagi soal cinta, menghilangkan cinta dan memulai cinta yang baru (menurut saya. red). Esok harinya baru saya mikir percakapan dengan kolega saya malam sebelumnya. Ditambah lagi hari ini. Lagi - lagi soal cinta yang hilang. Berat yah? Buat gue, bahan pembicaraan ini lumayan berat.

Lalu saya bertanya ke diri saya sendiri. "Kamu sendiri bagaimana?" Dan gue cuma diam. Bahkan sama diri sendiri aja tidak berani menjawab. Pertama, ya kalau gue berhubungan, istilahnya ya asik - asik aja. Buat jalan, ga ada yang serius. Nah kalau gue mulai serius, baru tuh namanya komitmen kalau gue mau serius sama tuh orang. Trus? Baru deh libatin perasaan, pikiran dan tentu saja investasi waktu, tenaga, de el el. Terus kalau hubungan tidak berhasil? Saya diam. Bingung jujur sama diri sendiri.

Kalau mau jujur, dalam berhubungan saya acapkali melibatkan pikiran, mencari - cari alasan yang logis dulu untuk berhubungan. Kalaupun ga logis, ya senang - senang saja. Ga pernah sampai cinta sama orang itu? Nah itu lain lagi ceritanya.

Tentu saja ada cinta. Untuk seseorang yang satu ini (hehehe, sensor). Kalau hubungan kalian retak? Ya, tetep cinta. Meski ditinggalin? Tetep juga. Kalau dikecewain? Tetep juga. Kalau dia bilang dia sudah ga cinta? Ya tetep. Masa gue mau ganti sama yang lain? Kok begitu? Ya karena cinta itu proses, ada due diligence dulu, meyakinkan diri, lalu komitmen untuk mencintai, baru deh tuh cinta tumbuh.
Lo yakin? Ya memang begitu. Kalau sudah ga bisa dipertahankan? Nah itu lain soal. Itu bukan cinta. Itu adalah kondisi, situasi yang membenarkan kita dengan berbagai alasan. Mau alasan dari yang paling dramatis atau alasan yang paling nyeleneh sekalipun. Trus ada yang bilang. "tapi gue dah ga cinta tuh sama dia." Nah, mungkin lo yang bermasalah (dari kacamata saya tentunya), ga bisa bedain mana cinta, mana emosi.

Jadi kalau cinta? Sulit dihilangkan, malah tidak hilang. Yang ada adalah tenggelam dengan hal - hal lain atau mungkin kesannya ya cinta yang lain, kerjaan yang lain. Hilang? Non sense. Yang ada kita mengendapkan di bawah sadar kita sampai kita ga sadar lagi tuh cinta ya tetap ada. Yang ada malah denial (salah satu bentuk mekanisme pertahanan diri versi freud). Jadi? Saya biarkan mengalir saja. Kalau tuh cinta masih suka iseng dalam batas kesadaran saya, ya saya nikmati. Kalau ga disiram, kan mati? Ya, semoga saja. Tapi nyatanya pohon di tanah bertanduspun tetap ada yang hidup juga (hehehe). Meski dia katanya udah ga cinta lagi? Ya itu urusannya, bukan saya. Meski dia ga perhatian lagi? Loh, kok cinta minta diperhatikan. Kan kamu yang memutuskan untuk mencintai? Lo ga hitung - hitungan? Cinta kok hitung-hitungan? Cukup di bisnis saja :D.

Jadi tetap saja begitu? Dinikmati saja. Biarkan ia tumbuh sendiri, sama seperti pohon di hutan lindung (semoga tidak ada penjarah hutan). Jadi masih cinta? Ngga. Yang ada ya saya cinta, ga pakai istilah masih.

Sekian cerita dari saya yang agak nyeleneh. Jadi cintamu hilang? Hati - hati berbohong :p