Jalanan di Jakarta itu bukan main tidak pernah dapat diperkirakan, kadang sangat lancar (yang membuat saya lalu sedikit takut dan bertanya - tanya ada apa gerangan Jakarta bisa selancar itu) atau begitu macetnya sehingga Anda harus mampu menahan buang air kecil (maaf: red) karena sudah 2 jam belum tiba juga di tempat tujuan Anda. Seperti cerita seorang sahabat hari ini yang harus menempuh waktu dua jam dari rumahnya menuju kantor yang sebetulnya hanya perlu waktu tempuh sekitar 20 menit. Maaf sekali lagi, bila kemudian saya tidak menjadi teman yang baik mendengarnya bersumpah serapah akibat kemacetan yang tidak disebabkan langsung oleh dirinya.
Nah loh, jadi salah siapa? Apakah saya harus mendengar keluh kesahnya atau mengambil sisi positif dari pengalamannya? Atau saya harus juga melontarkan sumpah serapah saya kepada yang memang bekerja dan bertanggung jawab atas lalu lintas disini? Well, toh saya masih saja tinggal di Jakarta juga meski kadang kesal dengan lalu lintas yang harus saya hadapi setiap hari.
Jakarta itu unik, menurut saya. Punya segudang cerita yang dapat kita uraikan dan tidak mampu ditampung dalam buku harian kita. Jakarta itu seperti halnya dinamika kehidupan saya dalam mencapai tujuan - tujuan pribadi saya.
Analoginya begini. Anggap saja rumah saya di bekasi dan kantor saya berada di bilangan kuningan. Area kuningan adalah arah untuk mencapai tujuan saya (ini mungkin yang ingin saya sebut aktivitas untuk pencapaian tujuan). Dan rumah adalah tempat dimana saya berpijak sekarang. Kantor saya adalah tujuan akhir saya (silahkan bila Anda mengatakan itu sebagai tujuan hidup, cita - cita, mimpi, bebas saja). Nah seberapa sering Anda dengan mudahnya mencapai tujuan Anda? Tanpa hambatan apapun dan seakan - akan alam begitu menyayangi Anda?
Sayangnya ini sebuah fakta. Mencapai tujuan tidak semulus dengan yang kita bayangkan. Iya, ga? Sama seperti jalan yang saya lewati dari rumah menuju kantor. Inipun tergantung kepada jenis kendaraan yang Anda lewati (anggap saja ini fasilitas yang anda gunakan untuk mencapai tujuan). Anggap saja, saya menggunakan mobil pribadi menuju kantor. Enak? Mudah? Ya, ada untungnya. Meski kondisinya sama saja dengan yang menggunakan kendaraan lain. Salah satunya macet itu ditambah pengorbanan lain seperti membayar uang tol, ribut dengan pengendara lain, bbm yang mengucur dengan deras. Tentu bisa dibayangkan betapa stressnya kita hanya untuk menuju ke kantor. Dan kita tetap akan pergi juga kan? Karena disana ada tujuan yang hendak Anda capai, apapun alasan Anda. Gaji, karir, kenyamanan, aktualisasi diri. Apapun itu.
Namun, apakah apa yang Anda lalui itu gratis? Ada yang gratis, ada yang tidak. Atau bila lebih tepat saya mengatakan bahwa ada harga yang harus dibayar untuk mencapai tujuan Anda. Anggaplah macet itu hambatan Anda mencapai tujuan, lalu Anda mencoba alternatif lain (atau kita sebut strategi baru) yang mungkin bisa mempercepat Anda mencapai tujuan dengan tingkat resiko yang lebih rendah. Dan intinya tetap kepada pencapaian tujuan. Tapi tetap, apakah Anda bisa dengan mulus mencapai tujuan Anda? Saya yakin tetap saja ada hal - hal yang membuat Anda sedikit perlu mengerem diri Anda. Tapi toh tetap Anda jalani juga.
Jadi sama seperti sekarang ini (gantian saya yang harus menghadapi macetnya Jakarta), seribu kisah ditorehkan bagi manusia Jakarta seperti saya. Dan saya bertanya - tanya kepada diri saya, apakah saya harus mengeluh menghadapi kemacetan dan hambatan berlalu lintas untuk mencapai tempat yang saya ingin tuju? Saya tersenyum sendiri.
Setidaknya Jakarta itu.... unik dengan ceritanya. Jakarta itu .... mengajarkan kita melihat tantangan untuk mencapai tujuan kita. Seperti istilahnya 'tidak ada yang gratis' termasuk dalam mencapai tujuan saya.
Setidaknya hari ini, Jakarta.... mengajarkan saya untuk menikmati setiap hambatan yang harus saya lalui untuk mencapai mimpi - mimpi saya. Meski sedikit, membuat saya menjadi lebih bijaksana and keep my endurance for achieving those goals
Thanks to Jakarta.