Satu pertanyaan dipagi hari. Sudahkah kamu mencintai? Phew. Mencintai yang seperti apa?
Lagi pertanyaan lain, siapa yang saya cintai? Apakaha aku mampu mencintai orang yang telah menyakiti saya? Atau mampukah saya memberi kasih bagi mereka yang tidak mampu membalas kasih saya?
Setiap pertanyaan yang muncul dan begitu menggelitik batin. Bagaimana aku ketika seringkali aku mengkritik orang lain ketika tidak mampu mencintai yang sebenarnya? Atau ketika aku mengatakan aku mengampuni namun ternyata aku masih memendam luka, lalu ketika ada kesempatan, aku memborbardir orang itu, "bagaimana rasanya bila kamu yang merasakan?"
Lagi - lagi, aku tidak sempurna dan lagi - lagi aku menuntut Allah melakukan yang sempurna. Sekarang jadi malu sendiri. Apa hakku meminta seratus darisang khalik yang ternyata aku paling banter hanya mampu memberikan sepuluh dari yang diminta? Lalu apa bedanya aku dengan penjahat, pencuri, koruptor atau pemerkosa? Toh kalau mau jujur aku sudah berzinah. Ya, mungkin tidak dalam arti fisik. Tapi aku telah berzinah terhadap diriku sendiri, terhadap pemikiran - pemikiran dan keinginan - keinginanku. Jadi apa bedanya aku dengan pelacur? Toh ternyata aku melacurkan terhadap diriku sendiri.
Jadi apakah aku berhak mengatakan kalau aku sempurna? Wah jauh dari itu. Kalau bisa mengatakan, jangan - jangan aku paling jahat sedunia. Bagaimana tidak? Aku menyakitiorang lain tapi tidak merasa menyakiti atau aku mencuri hak orang lain tapi selalu merasa bersih. Aku mengatakan ke orang lain untuk mengampuni sementara aku sendiri dendam kesumat terhadap orang tersebut. So? Trus, aku minta si empunya hidup untuk mengampuni aku. Mungkin kalau sang Khalik kemudian bicara, dia akan mengatakan, "lo tuh ada - ada saja. Memang sudah berapa yang lo lakukan terhadap orang - orang disekitar lo?"
Makin nyata kalau ternyata aku masih jauh dari apa yang aku bayangkan. Ternyata aku tidak murah hati amat, ternyata aku sering cemburu terhadap orang lain, ternyata aku masih suka marah saat tidak mendapat apa yang aku mau. Ternyata aku lebih sering mencari keuntungan sendiri dan seterusnya. Jadi, layakkah aku mengatakan diriku sempurna? Tidak sama sekali.
Kasih itu sabar, kasih itu murah hati; Ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakdilan terapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.