Salah satu masalah yan sering dialami seorang penulis; entah novelis, kolumnis, cerpenis dan lainnya adalah ketika berada dalam suatu masa yang disebut kebuntuan ide. Dan yang sangat menyebalkan adalah ketika jemari sudah siap untuk mengetikkan ide, yang muncul adalah kebuntuan seperti menabrak tembok.
Dan yang seringkali terjadi adalah kondisi seperti bebek blengong yang hilang arah. Bengong saja. Memandangi layar komputer yang hanya berkedip - kedip namun tak satupun kata yang tertuang. Dan ketika menabrak tembok itu terjadi, maka wajarlah para penulis ini mengalami stress yang luar biasa. Tidak produktiflah, cengenglah, moody lah, dsb.
Dan kebuntuan itu merayap - rayap seperti cicak atau seperti pelari yang hendak menyelesaikan larinya namun lagi - lagi menabrak tembok kehidupannya sendiri. Nah loh.
Dan lagi - lagi. Kebuntuan itu diam - diam menyelinap diantara serpihan kesombongan, keakuan untuk menyelesaikan target dan idealisme memberi kontribusi masyarakat banyak. Lagi - lagi. Kebuntuan menyergap laksana tentara gerilya yang diam - diam namun mematikan atau sel kanker yang menahun tanpa disadari lalu merenggut nyawa.
Aku terdampar dalam kekosongan. Kekosongan untuk menuliskan ide. Kekosongan untuk menunjukkan jati diri. Kekosongan untuk menjadi aku. Hanya aku saja. Jadilah aku bingung lagi. Dengan urutan kalimat yang tidak terstruktur dan ide - ide mengganas tak tentu arah. Jadilah kosong.
Aku bukan penulis. Aku hanya berusaha menulis apa yang aku pikirkan dan rasakan; apa yang aku amati dan simpulkan.
Dan bila aku menulis, kepada siapa itu semua ditujukan?