Aku geli sendiri menulis judul blog pagi ini. Ingat masa - masa dimana anda menjalin hubungan istimewa dengan seseorang? Berapa kali Anda memiliki hubungan istimewa dengan orang lain? Saat pecahnya sebuah hubungan, siapa yang memutuskan hubungan dan siapa yang diputuskan atas hubungan itu?
Aku geli lagi. Dini hari kok membahas hal hubungan. Bukan, bukan ini yang sesungguhnya saya maksud.
Okay, mari kembali sedikit serius (trus ada yang menimpali, "walah jeng, sejak kapan dirimu nda serius?" Itu kata beberapa kolegaku dan aku nyinyir sendiri).
Seberapa sering kita mengambil keputusan sendiri atas kehidupan dan perilaku kita, seberapapun kecilnya keputusan itu? Seberapa sering keputusan yang kita ambil dipengaruhi oleh keputusan, nilai - nilai atau paradigma orang lain? Seberapa sering Anda memutuskan sesuatu berdasarkan apa yang Anda percayai dan yakini? Atau mungkin sebaliknya? Kita secara sadar dan tanpa sadar berusaha mempengaruhi keputusan orang lain menurut apa yang kita anggap benar sesuai dengan nilai - nilai yang kita yakini?
Tengah malam aku mendengar cerita seorang teman yang sangat marah atas keputusan seseorang yang beberapa tahun ini menemaninya untuk mendapatkan mimpi - mimpinya. Dan lagi - lagi, aku tidak tahu bagaimana harus berkomentar. Apakah aku harus membela temannya atau mengiyakan kemarahan temanku karena keputusan temannya itu? Dan jadilah aku ribet dengan cara berpikirku sendiri.
Dalam hati aku berkomentar, kenapa harus marah? Kenapa harus kecewa? Bukankah masing - masing orang punya kebebasan untuk membuat keputusannya sendiri? Baik atau tidak baik, itu menurut Anda, bukan dia. Karena apa yang kita anggap jahat belum tentu dianggap sama oleh orang lain atau apa yang dianggap benar dan bagus dianggap sama oleh orang lain.
Lalu aku berceloteh pada diriku sendiri. Bukannya kamu juga sering seperti itu? Duhh. Hati nuraniku berbicara. Kalau sudah urusan begini, aku mati kutu. Wong terlalu sering aku pura - pura jadi orang bijak tapi boro - boro bijak terhadap diri sendiri. Sering menasehati orang lain dengan pemikiran yang bagus - bagus dan indah tapi sering juga aku seperti nabi palsu yang ingin terlihat malaikat. Kalau begini, siapa yang lebih buruk? Orang yang perilakunya jahat tapi jujur atau orang yang terlihat sangat baik tapi menikam orang dari belakang? Duhh lagi. Aku menepuk jidatku sendiri. Dan tersadar ternyata kalau dini hari, aku banyak berkomentar.
Kembali kepada cerita temanku. Komentarku satu. "Kalau lo jadi dia, lebih baik menjadi pembuat keputusan atas hidup lo sendiri atau dibuatkan keputusan oleh orang lain?" Atau ini sering jadi bahan iseng dengan seorang kolega bisnis sebelum benar - benar berbisnis dan berstatus masih karyawan, "mengajukan diri atau diajukan?" Dan aku terkekeh. Sayangnya aku adalah tipe yang mengajukan diri sebelum diajukan bos besar karena dianggap sudah tidak berguna bagi kepentingannya. Temanku juga. Jadilah aku mengajukan diri untuk memensiunkan diri sendiri sebelum dipensiunkan :-D.
Dan temanku itu diam. Mungkin dia susah untuk ngomong atau bingung dan kesal dengan cara berpikirku. Dan mungkin, tanpa sadar aku terkesan mempengaruhi cara berpikirnya. Entahlah.
Jadi bagaimana? Ketika Allah menempatkan kita untuk menempati posisi tertinggi sebagai mahlukNya, bukankah saat itu juga kita diberi kemampuan untuk memutuskan yang terbaik dalam kehidupan kita dengan koridor - koridornya? Atau kita seringkali memutuskan sesuatu hanya untuk kesenangan kita lalu lupa bahwa kita tengah memanfaatkan orang lain demi diri kita sendiri? Atau berapa sering kita tidak mampu memutuskan sehingga orang lain menjadi berkuasa atas hidup kita untuk memutuskan sesuatu yang ia anggap terbaik namun sebenarnya tidak untuk kita.
Dan aku bertanya lagi terhadap diriku sendiri, "memutuskan atau diputuskan?"
Memutuskan saja deh :-)
Subuh - subuh. 4.45 am