Sunday, December 23, 2012

Bertahan atau Menikmati sebuah Hubungan?

Baru saja kemarin saya menghadiri pernikahan salah satu anggota tim kami yang lumayan jauh dari Jakarta. Pernikahan yang meriah dan tentu saja penuh dengan kebahagiaan di wajah mereka. Dan aku turut berbahagia atas mereka berdua. Dan doa saya selalu: rukunlah, saling membangun dan melengkapi. Lalu dalam acara tersebut ada yang melontarkan kalimat ini: "segera cepat dapat anak ya." Yes, ini salah satu kalimat yang kadangkala saya anggap sebagai doa, juga sebagian pikiran nakal saya sebagai ritual sebuah acara pernikahan.
Setelah acara pernikahan, saya teringat kembali pertemuan saya dengan salah satu sahabat saya beberapa waktu lalu. Dan diskusi kami adalah soal pernikahan (kadang saya berpikir sebenarnya saya ini pengusaha, trainer atau konselor hubungan cinta :p). Singkat cerita, sahabat saya ini memiliki tantangan dalam pernikahannya. Dan pertanyaannya begini, "bertahan dalam pernikahan atau menikmati pernikahan?" Dan dia berkata lagi, "saya bertahan dan tidak menikmati pernikahan. Bukankah banyak yang akhirnya seperti itu?"

Saya tidak berkomentar. Sebuah pertanyaan untuk dirinya, juga sekaligus untuk saya, untuk semua pasangan yang sudah menikah, yang belum menikah dan yang pernah menikah. 

Berapa banyak dari kita yang bertahan dalam pernikahan namun tidak menikmati pernikahan itu sendiri? Dan banyak dari orang yang saya temui adalah orang - orang yang bertahan dalam pernikahan mereka dengan berbagai alasan: komitmen, anak, orangtua, ataupun alasan pribadi yang bersifat religius. Dan karena alasan bertahan, kita seringkali menemukan kekosongan dan kebekuan dalam arti hubungan pernikahan. Dan ini pula yang dialami salah satu klien saya selama 30 tahun pernikahannya.

Dan saya menemukan beberapa ciri orang - orang yang bertahan dalam pernikahan mereka: Bekerja berlebihan, lebih senang berkumpul dengan teman - teman daripada dirumah, menghindari momen - momen spesial, atau bersikap over protektif terhadap anak - anak mereka. Tentu saja ini hanya tendensi yang saya amati, bukan sebagai generalisasi.

Dan siang tadi saya terlibat percakapan yang sama dengan seorang teman yang saya temui di Semarang. Kata bijaknya seperti ini, "kenapa harus bertahan tanpa ada keterlibatan positif diantara keduanya? Cinta atau hubungan pernikahan yang luar biasa ketika kita masih mampu melihat pasangan kita sebagai orang yang terbaik, sahabat yang mendengarkan dan kita seakan tidak sempurna bila tanpanya. Lebih baik menghentikan sebuah hubungan sementara waktu bila bertahan hanya sebagai alasannya." Saya tersenyum dan saya mengiyakan ucapannya. Mungkin karena ia adalah salah seorang yang setelah 37 tahun pernikahan masih terlihat mesra dengan pasangannya :).

Lalu apa hubungannya dengan salah seorang tim saya yang baru menikah? Belajar menikmati pernikahan dengan mengisinya setiap hari melalui momen - momen spesial seberapapun sederhananya, entah hanya sekedar memanggil kata sayang, membantunya didapur, menemani ke bengkel atau mungkin ke konser menemani si dia meski kamu tidak menyukai musik atau penyanyinya :D.

Lalu kalau kamu menemukan dirimu ternyata dalam kondisi bertahan? Ambillah waktu sebentar untuk diri sendiri dan dengarlah hati nurani yang terdalam, lalu ambillah keputusan apakah mau terus bertahan, menikmati hubungan atau mungkin yang ekstrim adalah memutuskan hubungan.
Saya sendiri? Sayapun salah seorang yang akhirnya menjawab pertanyaan itu secara pribadi. 
Kamu?

Semarang, 23 Desember 2012