Malam mulai menggelayuti pinggiran pantai kuta. Antara angin, suara desahan daun nyiur yang tertepa diam - diam serta gulungan ombak yang bergerak perlahan. Aku berjalan pelan saja, membiarkan kakiku berbicara diantara pasir pantai yang basah. Diam, membiarkan alam yang membisikkan kata - katanya perlahan. Hanya aku dan dia yang mengerti. Bukan orang lain, bukan kekasih lain. Diam dan perlahan.
Aku teringat tentangmu, tentang semua perkataanmu, tentang mimpi - mimpi dan masa depan. Seakan pasti. Seakan indah dan ada harapan. Aku ingat beberapa katamu waktu itu. Tentu saja aku tidak pernah mengharapkannya. Pria dengan wajah kaku dan dingin. Wajah pria, yang sama sekali bukan idaman.
Aku ingat tawamu saat itu. Aku ingat senyummu. Aku ingat ada sepasang tatapan mata yang lebih optimis dari biasanya. Kita sama - sama dalam diam. Hanya bergelayut dalam sinar bulan yang sedikit temaram, sembunyi - sembunyi menatap hati kita. Sebelumnya kita tidak pernah bicara, tidak banyak tepatnya.
Dan kamu menulis - nulis sesuatu. Dalam secarik kertas.... mungkin tepatnya selembar tissue yang kamu ambil dari warung kopi di ujung sana. Begini katamu,
Mari, kita mulai semua bicara, dengan berkata perlahan
Bahwa Tuhan punya begitu banyak cara untuk mempertemukan kita
Mereka yang berjalan dengan kosong, atau bertabrakan dengan hidup,
Atau terus mencari dalam kosong, atau sepi di tengah keramaian
Semua selalu ada alasannya, untuk satu atau begitu banyak hal
Seringkali kita tanpa sadar terus berjalan padahal diberikan sebuah cahaya
Bahwa seseorang berjalan dengan ritme yang sama, irama yang sama, atau menunduk sama
dengan kita, atau tengadah dengan begitu percayanya
dengan kita, atau tengadah dengan begitu percayanya
Semuanya atas alasan yang tak mudah kita mengerti, namun nyata dan perlahan kita cernakan
semua makna itu
semua makna itu
Bukankah begitu? Mungkin
Kita seringkali tidak sadar apa yang membelakangi dan berada didepan kita. Kita seringkali lupa bahwa ada yang berjalan bersama - sama kita dalam ruang dan waktu yang lain. Dalam sebuah dimensi yang tidak kita mengerti. Dalam lingkungan dan pengalaman yang berbeda. Mungkin ada istilahnya ‘belahan jiwa’ .... yang dapat berarti apa saja. Atau sebut saja dia adalah kembaranmu yang berasal dari orang tua yang berbeda dan jaman yang berbeda. Kalau aku boleh menyebutnya, ini seperti reinkarnasi.
Kamu memegangku erat. Erat sekali. Mungkin ini adalah kali pertama kita berpegangan tangan tanpa harus merasa malu - malu dan dibatasi oleh manusia - manusia yang akan menghakimi langkah kita. Mungkin karena kita tidak sama. Mungkin karena kondisi kita tidak layak bagi sebuah euforia menusia yang merasa paling suci dan berharga. Apakah kita salah? Atau kita yang menentukan sendiri langkah - langkah kita? Kita yang menganggap diri kita menjadi yang paling benar. Mungkin kita hanya ingin menjadi bebas saja, menjadi manusia seutuhnya.
Kamu mengajakku berjalan, membiarkan angin lembut membimbing langkah - langkah kita. Bisakah kita saling berbagi? Saling membuka diri dan memegang langkah kita masig - masing. Karena kenyataannya, kita bukan orang yang mudah membuka diri untuk orang lain. Kita masing - masing berada dalam dunia kita masing - masing dan tidak membiarkan orang lain masuk kedalam dunia kita. Ketidaknyamanan, ketidakpercayaan atau perasaan dimanfaatkan.
Kamu menatapku. Erat. Dan malam kian larut. Kata - kata itu dibisikkan dengan lembut,
“Mari, kita mulai berbagi, dengan saling berdampingan
Dalam waktu-waktu kosong, dimana hilir-mudik keramaian tak valid lagi untuk sebuah kebersamaan, dan kita tinggalkan semua hal
Pergi ke tempat yang tak terganggu, hanya untuk saling berbagi
Cerita-cerita panjang yang tampak tak berakhir, tapi memperkuat diri
Semakin lama, semakin panjang dan tak berakhir, tapi berujung kekuatan yang terbentuk nyata
Kamu menyandarkan kepalamu dibahuku. Mungkin kamu lelah. Ya, lelah dalam sebuah kondisi kepura - puraan dan tanpa sadar menjadi manusia yang dibentuk oleh orang lain, sesuai dengan keinginan orang lain. Bukankah kita sama - sama lelah? Modernitas membentuk kita seperti robot - robot yang memiliki darah dan jantung. Kita tanpa sadar menjadi sama seperti orang lain. Modernitas dan kapitalisme lupa akan menjadi manusia kita seutuhnya. Bersatu dengan konformitas dengan lingkungan kita. Kita lupa akan sebuah kebebasan yang hakiki dan kreativitas yang bersatu dengan alam. Kemudian kita menjadi orang lain. Dan aku, kamu hanya ingin menjadi diri kita sendiri.
Dan kita, tak mau aus-kan diri kita atas hal-hal yang tidak alami
Aku dan kamu,
kita berbagi untuk sebuah kekuatan yang tak bisa kita jelaskan banyak,
hanya bisa kita rasakan dari jalan-jalan panjang yang dingin dan tak kita buka pada siapapun.
Seperti berjalan di bawah ratusan cemara, hutan dingin yang menyegarkan benak kita.
Tak peduli suhu yang mendingin, kita tetap tapaki jalan setapak itu dan bergerak perlahan,
mengatur nafas untuk terus melangkah dan bercerita.
mengatur nafas untuk terus melangkah dan bercerita.
Aromanya menyegarkan, membuat sebuah ruang ketenangan yang membebaskan kita menjadi
diri sendiri. Lalu kita berharap waktu ini tak habis oleh detik jam, atau teori relativitas dapat
terjadi bahwa kita bergerak lebih cepat dari waktu seolah sekeliling kita
diri sendiri. Lalu kita berharap waktu ini tak habis oleh detik jam, atau teori relativitas dapat
terjadi bahwa kita bergerak lebih cepat dari waktu seolah sekeliling kita
berhenti.
Teori relativitas? Rasanya aku sudah lupa. Relativitas dan dunia. Relativitas dan keakuan. Tidak ada yang tetap. Tidak ada yang hakiki. Semuanya bersifat relatif. Kita juga sama. Kita berdua bersifat relatif, sekarang kita berada disini dan akan berada ditempat lain meski berada dalam dimensi dan waktu yang sama. Semua tidak ada yang kekal, termasuk kebersamaan kita saat ini. Aku hanya tersenyum tipis. Aku tersenyum pada diriku sendiri. Aku tersenyum pada sebuah keakuan dan ketidakpastian.
Kamu menatap.
“Pernahkah kita berbicara lebih bebas?”
“Pernahkah kita berbicara lepas dan mengindahkan sesuatu disekeliling kita?”
Kadang kita lupa dan bersatu dengan konformitas yang membayangi diri kita sebagai pribadi. Aku dan kamu sama. Mereka juga sama. Kita sama - sama berjalan dalam relativitas semu.
Ceritakanlah tentang dirimu, yang sepi di tengah keramaian, atau lamunan panjang yang menyesakkan pikirmu. Atau saat berada di dalam perjalanan jauh, dalam pesawat yang sedang lepas landas atau mendarat, dan kau daratkan pandangmu keluar bingkai jendela.
Sendiri, tak berujar apapun dan hanya memutar begitu banyak kenangan. Kita selalu mencoba keluar dari belenggu, atas nama diri pribadi yang mencoba terbang lepas menjadi diri sendiri. Dan kita terkunci dalam alam yang menamakan dirinya norma, nilai, atau apapun namanya. Dan kita semakin anomali di dunia yang nyata-nyata sering tak berpihak.
Tapi bukankah itu bagian dari kebijaksanaan yang harus kita raih?
Dan kebijaksanaan hadir lebih lambat dari ribuan pemahaman pengetahuan yang kita raih. Tak dapat dipercepat, hanya dapat didalami semakin lama waktu berjalan.
Aku, kamu, kita. Dibelenggu dengan norma. Dengan sebuah aturan yang mengikat kita. Sebuah kondisi yang melupakan sebuah kebebasan manusia.Tapi bukankah norma itu yang membuat manusia tidak berbuat sesukanya. Bukankah norma yang menjadikan kita lebih teratur dan menghormati orang lain? Atau kita ternyata hanya pura - pura supaya dunia ini menjadi seimbang? Dan saat kita tidak menjadi sama dengan mereka, kita menjadi berbeda dan mendapatkan pesan miring dari lingkungan kita. Kita menjadi anomali. Kita menjadi manusia - manusia aneh diantara manusia - manusia lain yang sesungguhnya kita anggap aneh. Lucunya dunia. Lucunya diri kita.
Tapi bukankah hal yang sulit untuk bercerita apa adanya? Bukankah dunia kita penuh dengan penghakiman yang sarat dengan kompetisi dan merasa paling benar? Kadang yang perlu kita lakukan adalah bicara dari hati ke hati. Bukan dengan suara dan tawa yang keras. Melalui kepekaan hati kita.
Dan aku mendengar.
Biarkanlah benakku mendengar, karena kita melibatkan begitu banyak hal yang berputar dalam kalbu dan harus kita lepas, demi
tenang yang dapat memeluk kita setelah sekian lama tak tersentuh.
Lepaskanlah, dan aku merengkuh dalam setiap getir yang kau lepaskan, setiap peluh yang membasahi langkah, atau setiap kecaman
pada diri sendiri atas hal-hal yang tak termengerti.
Bukankah Tuhan Maha Baik? Mempertemukan manusia-manusia yang kehilangan tenaga, dengan yang lain untuk
menyeimbangkan?
Equilibrium terjadi dimanapun, mensejajarkan semangat pun getir. Karena hidup terlalu berharga untuk kita sia-siakan atas hal-hal
yang tidak alami.
Tapi bukankah kita terlalu sering memetamorfosakan kejujuran atas dalih-dalih artificial dengan maksud menjaga keseimbangan?
Lalu, apakah jujur salah? Sama sekali tidak, hanya saja tidak semua hal jujur menyenangkan.
Dan semakin dalih itu membelenggu ucap kata dan hati, semakin jauh kita tidak menjadi diri sendiri. Keseimbangan tidak lahir dari
hal-hal dalih artificial.
Sama sekali tidak.
Keseimbangan justru lahir dari hal paling hakiki yang dapat kita utarakan.
Dan ceritakanlah, bukankah saat ini kau dapatkan keseimbanganmu kembali dengan membuka ruang-ruang terdalam itu?
Bukankah dunia yang baik adalah saat kita mencapai titik ekuilibrium, sebuah keseimbangan yang didengung - dengungkan? Saat kita menjadi berbeda dan manusia berjalan saling berbeda, maka titik itu tidak akan pernah terjadi. Aku merenungkan kata - katamu.
Sayang, sadarkah kita sebuah ekuilibrium membuat masa hidup dunia ini menjadi lebih lama? Atau inikah perasaanku yang tidak anomali? Sebuah perasaan yang berdiri sendiri dan dipengaruhi oleh metamorfosa kejujuran sebagai suatu yang lain. Aku berkata dengan dalih dan aku tidak berani menatap kejujuranmu. Keseimbangan seperti apa yang benar - benar seimbang? Hal apa yang paling hakiki? Jangan - jangan kita benar - benar melupakannya dan kita lupa akan sebuah bentuk yang paling hakiki.
Rasanya aku sudah lupa menjadi diri sendiri. Benar - benar menjadi diri sendiri. Aku lupa esensi hidupku yang sebenarnya. Aku lupa mengapa aku ada disini. Aku lupa bagaimana aku mempertanyakannya. Apakah kamu sudah menemukan dirimu yang sebenarnya? Aku lupa bagaimana menjadi diriku sendiri tanpa mengindahkan orang lain dan apa yang orang lain inginkan.
Seperti yang aku bilang dan mungkin juga benar. Kita seperti robot - robot yang diciptakan oleh modernitas dan kapitalis. Kita menjadi buatan - buatan keinginan mereka. Bukankah begitu? Bukankah ini yang sedang kita hadapi?
Maafkan aku bila aku mengajukan banyak pertanyaan karena memang banyak hal yang tidak aku mengerti. Bahkan, aku tidak mengerti diriku sendiri. Aku sekarang tidak mengerti mengapa aku berjalan bersamamu dan mendengarkan setiap kata yang ingin kamu perdengarkan. Apakah kamu pernah merasakannya? Apakah kamu pernah menertawakan kehidupanmu yang seakan seperti manusia tanpa jiwa?
Kamu diam dan hanya menulis. Mungkin itu yang bisa kamu lakukan untuk menjadi dirimu sendiri. Mungkin itu caramu untuk menunjukkan sebuah eksistensi menjadi diri sendiri. Mungkin ini bisa menjadi caraku juga untuk sebuah eksistensi. Menjadi diriku sendiri.
Aku menulis, sedikit kata hingga ratusan kata, adalah mencoba menembus batas-batasku yang tak mudah ku-urai, tak mudah aku keluarkan begitu saja.
Dan mudah atau tidaknya setiap kata, sangat tergantung bagaimana kau ikut berjalan di setiap cerita. Karena juga begitu banyak hal yang terbagi, karena kau dan banyak hal lain di sekitarku ikut membangunnya. Aku memang mengijinkan begitu banyak hal bermain dengan alam fikirku, karena proses kebijakan tidak berjalan dalam alur yang pendek. Semakin jauh kita melangkah dan mengatur ritme atas banyaknya tamparan-tamparan yang harus kita selesaikan, semakin tenang kita berhadapan dengan hal-hal selanjutnya.
Kamu tahu, aku sudah melangkah jauh meninggalkan banyak hal di belakang. Aku yakin ini sama dengan apa yang kamu alami. Aku memang sudah berjalan terlalui jauh, melewati masa - masa lalu yang rasanya tidak perlu aku ingat kembali. Sebuah prahara atau api panas, atau malam-malam dingin yang mengunci, atau langkah tak berarah, atau apapun. Tahukah kamu bahwa aku tetap mencari. Dan aku yakin, kau mencari titik yang sama. Atau sejalan. Atau hanya berbagi informasi agar tak tersesat. Apapun itu, tak mengapa. Karena kita berbagi untuk sebuah kekuatan. Kita menenangkan dan tak mengizinkan jatuh lagi dalam jurang dalam itu sendiri. Kita mengulur sebuah tarikan, yang menjaga keseimbangan kita. Kita bicara dalam bahasa yang akhirnya kita ketemukan setelah sekian lama.
Jadi, mari kita bicara, atas nama ketenangan yang menguatkan diri…
Selatan Jakarta, November 2010