Berapa sering anda berharap bahwa apa yang anda rencanakan akan tercapai dan kehidupan anda selalu indah?
Nyatanya? Mana yang lebih sering?
Nyatanya kita terlalu sering berada dalam imajinasi akan keindahan telenovela atau sinetron picisan yang begitu fasihnya membangun ketidaksadaran kita.
Saya tidak tahu anda tapi nyatanya banyak orang yang seperti itu, mungkin termasuk saya.
Berapa sering anda menaruh harapan akan sesuatu, lalu ternyata kenyataan tidak sesuai dengan kenyataan; lalu anda marah dan kecewa, terhadap orang yang anda gantungkan harapan anda, lingkungan anda, atau mungkin kepada Sang Khalik. Lalu anda merasa bahwa yang menimpa anda itu musibah, kutukan, kabar buruk dan sebagainya lalu kemudian anda menutuskan untuk keluar menghindar atas apa yang anda alami. Mungkin lebih tepatny memutuskan kesadaran bahwa anda sedang tidak beruntung.
Nyatanya kita terlalu sering melihat bahwa kebaikan Tuhan itu identik dengan harta berlimpah, posisi bagus di pekerjaan, teman - teman yang mencintai anda, lingkungan kerja yang anda inginkan, keluarga yang harmonis, pasangan yang ideal dengan gambaran anda, orangtua yang 'mengasihi anda' dan seterusnya. Dan bila kebalikannya, anda berkata ini musibah. Anda lalu kecewa dan lari dari itu semua, apapun bentuk respon yang anda berikan. Mungkin tidak hanya anda. Saya juga.
Tahukah anda bahwa kita terlalu sering ingin mencari kemudahan dan kebahagiaan secara instan? Mungkin anda tidak, tetapi kadang - kadang saya seperti itu. Mau kaya tanpa perlu susah - susah dulu, mau dicintai tapi tidak berusaha mencintai, mau disayang orangtua tapi sering membantah dan merasa diri paling benar, mau posisi tinggi tapi kerja santai. Lalu kalau yang buruk terjadi, mulailah saya menyalahkan orang lain, lingkungan saya bahkan Sang Khalik yang menciptakan saya. Dan saya lupa bagaimana harusnya saya berkaca melihat diri saya sendiri.
Dan nyatanya, saya tidak tahu anda, namun saya, ketika melihat setiap situasi yang terjadi dengan cara yang berbeda, saya mendapatkan sesuatu yang baru. Saya tidak lagi melihat pengalaman 'negatif' yang saya alami sebagai musibah atau ujian. Saya melihatnya sebagai...ya sebagai itu saja. Bahwa semuanya harus dilewati, bahwa semuanya adalah proses sebagai pelengkap kehidupan kita yang seringkali datar. Bahwa apa yang kita alami, baik atau buruk adalah sarana untuk menjadikan saya manusia yang lebih baik. Bahwa setiap kejadian yang saya alami berusaha mengajarkan saya untuk menjadi manusia, bukan Tuhan. Bahwa kalau orang lain tidak mencintai saya, maka saya harus belajar mencintai mereka lebih dulu apa adanya. Bahwa kalau sekarang saya harus bekerja lebih keras dari orang lain, itu supaya saya menghargai setiap hasil dari kerja keras. Dan intinya bahwa Allah berusaha mengajarkan saya menjadi manusia seutuhnya seperti gambaranNya.
Munafik? Tidak juga. Namun bila gambaran anda seperti itu, ya terserah saja.
Buat saya? Hidup itu harus berjalan apa adanya, mencapai titik ekuilibrium untuk sebuah keseimbangan alam. Keseimbangan diri saya. Siapa yang menilai saya menjadi lebih baik? Sulit bila saya mengikuti standar anda, mungkin. Tapi semoga saya mampu mencapai standar saya untuk menjadi manusia yang lebih baik, lebih berempati, lebih bersyukur, lebih mengasihi orang lain.
Bila anda punya tanggapan lain? Itu terserah anda. Anda sendiri yang memutuskan.