Diam - diam dalam hening kulontarkan pertanyaan - pertanyaan kepada diriku sendiri. Aku mempertanyakan pahala, aku bertanya soal surga dan neraka. Aku bertanya tentang Allah yang seakan - akan sebagai hakim perbuatan baik dan buruk. Dan sayup - sayup kudengar seorang guru membahas tentang pahala. Aku tidak memojokkan agama apapun, hanya aku bertanya kepada diriku sendiri. Apakah kehidupan religius itu hanya menyangkut masalah pahala?
Ketika aku berdoa sekali, aku mendapat pahala. Lalu semakin banyak aku berdoa dalam hitungannya yang tertulis, semakin banyak aku mendapat pahala. Lalu bagaimana bila aku dengki terhadap orang lain? Bila aku membenci orang lain yang menyakiti hati? Bila aku tidak mau lagi berbicara dengan orang yang berusaha menjatuhkan nilai saya sebagai pribadi? Apakah pahalaku akan diperhitungkan dengan perhitungan matematika? Lalu apa bedanya Allah yang aku sembah dengan para broker wallstreet yang menghitung untung rugi lalu melepaskan saya karena tidak banyak berdoa?
Lagi aku bertanya kepada diri sendiri tanpa bermaksud menghakimi siapapun juga. Hanya pertanyaan bodoh sebagai aku saja. Aku yang berjalan dalam pertanyaan - pertanyaan untuk mengenal maksud, mengenal Ia yang lebih tinggi dari aku sendiri.
Bila Allah yang aku sembah menghitung - hitung pahala dan kesalahan; yang hanya mendekat kepada mereka yang menguntungkan, aku tidak akan mau didekatnya lagi. Apa bedanya Ia dengan manusia? Bukankah kita juga melakukan hal yang sama?
Bila Allah itu terwujud dalam surga dan neraka; perbuatan baik dan perbuatan jahat, mungkin aku akan berhenti berbicara padanya. Karena aku mungkin tidak akan ada disurga yang diceritakan orang - orang. Aku tidak berdoa lebih banyak dari orang lain, aku tidak berbuat baik lebih banyak dari para koruptor, aku tidak pernah berusaha menyenangkan orang lain. Aku yang sering marah, sering tidak peduli orang lain, sering mencuri kesempatan orang lain, sering menggunakan orang lain. Apalah aku dibandingkan mereka? Maka mungkin neraka jadi tempatku seperti cerita orang - orang.
Bila Allah seperti itu, jadilah aku tidak hidup damai. Jadilah aku hanya hidup dalam ketakutan, dihantui rasa bersalah dan seperti anak kecil yang takut dihukum hingga aku tidak berani mencoba dan melakukan apapun. Bila Allah seperti itu, aku akan berhenti berbicara padaNya.
Lalu apakah yang benar, yang baik, yang indah, yang menenangkan? Aku tidak tahu.
Yang aku tahu, Ia seorang sahabat, seorang ayah, seorang ibu, seorang guru, seorang pemimpin, seorang dokter dan seterusnya. Yang kutahu Ia adalah pribadi dimana aku bebas berbicara, menjadi aku apa adanya. Yang aku tahu, Ia seperti pengelana yang menjaga agar aku tidak terpeleset dan walaupun terpeleset supaya aku tidak jatuh. Yang aku tahu, Ia seperti guru dan ayah, yang mengajar dengan tongkatnya supaya tetap berada dalam jalan yang benar namun tetap sebagai anak yang paling disayang. Ia seperti seorang ibu, yang membacakan dongeng sebelum tidur, yang memberi ketenangan ketika dunia gelisah dan manusia lain memporakporandakan jiwa, yang membimbing dengan lembut namun konsisten dalam perkataannya. Yang ku tahu Ia adalah sahabat yang menemani kemanapun aku pergi, bercerita dan tertawa bebas, menyediakan punggungnya dalam tangis, yang memberi kekuatan saat sudah tidak berdaya. Ia adalah pemimpin yang menggerakkan aku dengan visi, dengan mimpi terbesar yang ditanamkan supaya aku bisa menjadi tembok penjaga bagi sesamaku.
Heumm. Bila ternyata apa yang aku pahami tidak lagi seperti itu, maka aku akan berhenti. Berhenti menyebutnya Allah.