Kemarin saya bertemu dengan salah satu calon partner usaha saya. Alih - alih dari diskusi mengenai usaha, kamipun beralih dengan kondisi ekonomi bangsa ini, termasuk dengan regulasinya. Dan rekan saya berbicara seperti ini, "bagaimana negara bisa memberantas korupsi. Lah atasnya aja sama kok. Mau usaha bener malah dibikin susah. Ya apalagi yang bisa kita lakukan kalau tidak memberi upeti buat sang pembesar dan kroninya." Biasa kita dengar bukan? Atau saya yang biasa mendengar cerita ini? Tapi ya itu memang kenyataannya. Lalu saya berkomentar, "trus menurutmu dengan rencana reshuffle kabinet akan berpengaruh ke ekonomi kita?"
Dia malah tertawa. "Christine, anda kadang naif dan berusaha positif. Yang mesti di reshuffle ya dia. Pemimpin kok dolat dalit."
Sebelum saya membahas apa yang saya pikirkan, mungkin saya perlu meminta maaf atas nama rekan saya dan semoga saya tidak di bredel dengan komentar teman saya tadi oleh pihak - pihak yang berkepentingan.
Saya yakin bukan hanya rekan saya yang berkomentar seperti itu. Sampai - sampai warung kopi yang saya kunjungipun sudah bosan mendengar tingkah langkah maupun rencana yang diungkapkan pemimpin maupun wakil rakyat bangsa ini. Wong cuma bisanya omong doang, berusaha mencari simpati, pura - pura lupa, tidak pernah ketemu atau cuma sekedar bilang "saya menganjurkan" tapi tidak melakukan audit ke lapangan atau menjewer antek - anteknya bila salah langkah. Maka saya mulai berpikir bagaimana saya harus mengambil sikap. Apakah saya berusaha positif padahal memang disekitar saya negatif atau saya ya negatif saja seperti yang lain? Jujur saja, ibu - ibu rumah tangga saja bahkan langsung mengganti channel tivinya bila si "x" itu berkomentar.
Lalu? Daripada saya mengomentari orang lain yang mungkin bila saya berada di posisinya saya mungkin tidak lebih baik, maka saya berusaha bercermin kepada diri saya sendiri. Ketika saya menjadi seorang pemimpin atas orang - orang disekitar saya, bagaimana sikap dan perilaku saya? Apakah sudah saya bersikap adil dan tidak mementingkan diri sendiri seperti yang tercantum pada butir pancasila? Apakah saya sudah senantiasa berusaha bertindak benar dalam rambu - rambu dan koridor yang benar? Sudahkah saya melakukan tindakan seperti apa yang saya katakan? Sudahkah saya menegur dan mengembalikan pengikut saya pada aturan dan koridor yang benar atau malah membiarkan mereka seperti tikus kelaparan yang menghalalkan segala cara? Sudahkah saya membimbing mereka untuk menjadi yang terbaik dalam aspek kehidupan mereka? Sudahkah saya mampu konsisten dan persisten terhadap setiap keputusan saya? Sudahkah saya memikirkan kepentingan orang lain di atas kepentingan saya sebagai seorang individu?
Rasanya ketika saya mengajukan pertanyaan - pertanyaan ini, satu saja catatan saya: saya masih harus banyak belajar untuk menjadi seorang pemimpin yang baik.
Maka bila semua pemimpin belajar untuk berefleksi diri, tidak hanya ingin cerita yang baik - baik saja. Bila saja seorang pemimpin mementingkan kepentingan umum dibanding kepentingan pribadinya. Seandainya seorang pemimpin tidak memiliki bibir yang dolak - dalik namun laku dan ucapan sesuai dengan kebenaran. Seandainya seorang pemimpin lebih mampu berpikir strategis untuk kemajuan bersama. Tentu saja kita akan menjadi lebih baik, bangsa dan negara yang lebih baik.
Lalu apakah saya harus menunggu pemimpin saya menjadi pemimpin yang lebih baik? Jadilah saya teringat pesan mendiang paman saya. Jangan menunggu orang lain melakukan sesuatu. Mulai saja dari dirimu. Itu akan jauh lebih mudah.
So? Apakah anda perlu mereshuffle kabinet anda atau anda yang sesungguhnya perlu di reshuffle? Saya memilih untuk mereshuffle diri saya sendiri.