Saturday, September 25, 2010

Kierkegaard dan Saya

Baru saja menyelesaikan pandangan Kierkegaard tentang kehidupan, eksistensialisme, rasionalisme dan romantisme. Dan aku kembali melakukan refleksi atas setiap pertanyaan yang masih menjadi misteri anak manusia. Sebuah kutipan yang sangat menarik:


Apa gunanya kalau kebenaran berdiri dihadapan saya, berdiri dan telanjang. Tidak peduli apakah saya mengenalnya atau tidak, dan malah membuat saya takut dan bukannya percaya?

Ingat sekali bagaimana seorang Kierkegaard berusaha menemukan filosofi hidupnya, bukan dengan pengamatan namun pengalaman yang harus ia lalui dan memaknainya dengan sedemikian rupa. Lalu aku bertanya, apa bedanya aku dengan sang maestro? 



Bila sang Maestro bergerak dari eksistensi menuju rasionalitasnya, maka akupun demikian. Lalu apa bedanya dengan manusia lain. Ini fenomena, katanya. Ini juga fenomena, kataku. Lalu apa bedanya antara Kierkegaard, aku dan temanku? Kami sama - sama berjalan dalam rasionalitas dan eksistensi.

Bila seorang Kierkegaard mencintai Regina Olsen dengan sifat melankolisnya, keberanian menyatakan cintanya lalu kemudian memandang langkahnya keliru dan meninggalkannya. Ia berada dalam situasi terbalik antara keinginan mencintai dan memiliki dengan sebuah rasionalitas ia tidak merasa layak mencintai seorang regina. Pertanyaannya adalah, apakah yang terdapat dibalik pemikirannya? Apakah yang menjadi bahan pertimbangannya? Bagaimana cara ia mengabaikan perasaannya? Apakah ini bentuk pengabaian eksistensialisme manusia untuk sebuah rasionalitas semu yang tidak mudah dibedakan, termasuk dalam halnya insepsi?

Akan tetapi, dalam batin, pada hari berikutnya, saya menyadari bahwa saya telah melakukan langkah yang keliru. Seorang yang sedang bertobat seperti saya ini, kehidupan masa lalu saya, sifat melankoli saya, semua ini sudah cukup. Saya luar biasa menderita waktu itu ....

Apa bedanya Kierkegaard dengan saya dan teman saya? Kita dipaksakan meninggalkan eksistensi kita sebagai manusia untuk tinggal dalam sebuah rasionalitas saja. Untuk sebuah pemahaman terbalik mengenai diri kita sebenarnya. Apakah kita tinggal dalam eksistensi kita atau malah kita terlalu tinggal dalam rasionalitas kita?
Ini faktanya, bila aku tidak boleh mengatakan ini sebuah insepsi. Bahwa pada akhirnya, eksistensi itu adalah eksistensi semu yang ditanamkan oleh manusia - manusia lalim disekitar kita yang mengatasnamakan rasionalitas lalu penghakiman datang atas nama sebuah sisi ekuilibrium.

Dan aku mempertanyakan apa bedanya Kierkegard dengan aku? Sisi keakuanku dan sisi rasionalitasku.

Aku berusaha berjuang menemukan eksistensiku tanpa pembatasan ketidakberdayaan dan pencemoohan atas rasionalitas. 

Yang sungguh - sungguh tidak aku miliki adalah kejelasan... apa yang harus saya lakukan, dan bukan apa yang harus saya ketahui, kecuali sejauh pemahaman tertentu harus mendahului setiap tindakan.... masalahnya adalah mencari kebenaran sejati untuk situasi saya, mencari gagasan yang menentukan hidup mati saya....

Apa bedanya Kierkegaard dan saya? 

Dharmais, 25 September 2010