Wednesday, September 14, 2011

cinta = bahagia?

Salah seorang sahabat yang saya kenal dari social media bercerita kepada saya tentang ketidaksinkronan antara pikiran, perasaan, norma, agama yang carut marut. Dan saya menepuk jidat saya yang lebar. Duhh, ini soal yang susah untuk dijawab. Pertama karena saya bukan seorang ahli, kedua bukan seorang konselor, ketiga, hidup sayapun masih sedikit carut marut dengan banyak kisah yang saya sendiri bingung bagaimana menghadapinya. Tapi, ya tetep, dengan smiling face emoticon, saya membuka diri untuk mendengar curhatnya. Dan saya sendiri jujur, semua orang pasti butuh bercerita. Mulailah saya berusaha menjadi pendengar yang baik padahal mulut ini tidak tahan berceloteh tentang narsisme pribadi.

Mulailah ia bertanya pada saya, "pernah mencintai seseorang?" Duh, klise. Tentu saja. Cinta, jatuh cinta, jatuh bangun, cinta lagi. Trus? Saya memberikan emoticon jempol saya. Of course. Then? "Pernah memutuskan hubungan cinta anda karena alasan tertentu?" Saya mesem - mesem lagi. Tentu saja. Bukannya hubungan cinta itu diputuskan karena suatu alasan, logis dan tidak logis? Saya meracau dalam hati. Lalu ia menulis lagi. "pernah memutuskan hubungan dengan seseorang yang sangat kamu kasihi dan kamu bermimpi menghabiskan hari - harimu bersamanya lalu di satu waktu kamu sendiri yang memutuskannya dengan alasan untuk kebaikannya? Dan sampai sekarang kamu masih mencintainya diam - diam?" Aku menerawang sebentar apakah aku pernah seperti itu? Mungkin ya, mungkin tidak. Lalu aku bertanya mengapa. Diam beberapa saat. Entah karena konektivitas yang pelan atau karena ia tidak tahu harus menjawab pertanyaan saya. Lalu mulailah pembicaraan yang sangat panjang tanpa terasa bahwa kami berbicara lebih dari empat jam.

Setelah cerita berhenti, mulailah aku berpikir. Mungkin merenung tepatnya. Apakah aku mengalami kondisi yang sama dengan sahabatku? Apakah aku pernah mengabaikan perasaan - perasaan yang akhirnya mengganggu batin? Aku diam tidak mampu menjawab pertanyaan yang aku ajukan sendiri.

Berapa kali pernah mencintai lalu jatuh? Berapa kali pernah bermimpi namun seakan mimpi itu tidak pernah tercapai? Lagi aku tidak berani menjawab. Entah karena memang aku pengecut untuk mengakuinya atau memang aku tidak memiliki jawabannya.

Lalu aku mengajukan pertanyaan sendiri. Apakah kita pernah seperti itu? Mencintai seseorang lalu melepaskannya (bahkan dengan cara yang sangat menyakitkan) dan berasumsi bahwa orang tersebut akan lebih berbahagia dengan tidak lagi bersama dengan kita? Kita merasa dengan melepasnya maka kita sedang memberi sesuatu yang lebih berharga. Kadang saya berpikir begitu. Melepaskan seseorang yang kita cintai supaya ia lebih berbahagia. Adakah yang salah?

Lalu aku ingat perkataan mama beberapa hari lalu. Kita selalu membuat asumsi dan tidak membiarkan orang lain itu menilainya sendiri, terlepas dari apa kata orang, norma, agama, kebahagiaan. Mengapa tidak membiarkan ia memilih sendiri untuk kebahagiaannya? Nduk, bila kamu mencintai seseorang, ya cintai saja apa adanya, tidak usah repot memikirkan apakah ia bahagia atau tidak. Sepanjang kamu mencintai dengan benar, maka kebahagiaan itu akan datang dengan sendirinya.

Jadi, aku berpikir lagi. Apakah dulu aku berusaha mengatur kebahagiaan seseorang dengan memaksa melepasnya pergi atau karena aku sendiri yang ingin dilepaskan? Atau kita terlalu berpikir kebahagiaan itu lalu mengkotak - kotakkan dengan apa yang menjadi standar orang lain? Mencari - cari kesalahan orang lain juga. Lalu aku memandang diriku sekarang. Ya aku mencintai saja. Titik tanpa koma. Tanpa perlu didiskusikan, tanpa perlu diperdebatkan. Tanpa perlu tahu apakah orang lain menjadi berbahagia. Apakah lingkunganku mendukung. Apakah ia berbahagia. Mengapa harus bersusah - susah dengan asumsi padahal seringkali apa yang kita pikirkan belum tentu sama dengan apa yang orang lain pikirkan dan rasakan. Dan tentu saja, kita tidak bisa mengulang masa lalu untuk mengembalikan cinta yang sudah kita lepas itu. Lalu? Mencoba menyatukannya kembali atau mencari cinta yang baru dan jangan mengulang kesalahan yang sama.

Aku? Hanya diam dan senyum sendiri