Tuesday, October 18, 2011

Hidup yang Transparan

Ini pertanyaan saya pagi ini. Seberapa transparan hidup kita? Mungkin pertanyaan yang agak nyeleneh di pagi hari. Namun ini yang saya tanyakan kepada diri saya sendiri? Seberapa saya apa adanya, tidak dibuat - buat? Atau seberapa saya berusahan menarik perhatian orang lain dengan polah tingkah saya yang kadang absurd? Lagi - lagi ketika saya menulis ini, saya terstimulus oleh banyak hal; entah bangunan, manusia, dan termasuk timeline anda di twitter. Bukan untuk menghakimi orang lain, namun hanya sebagai refleksi kedalam pribadi saya yang sangat jauh dari sempurna. Bahkan bila saya membandingkan, mungkin saya sangat jauh dari sempurna dibanding anda.

Dan ini salah satu timeline yang menggelitik saya pagi ini, "you (still) don't get it, right". Bagaimana anda menginterpretasikan hal ini? Apakah anda merasa yang bersangkutan sedang menegur anda atau ia sedang menuliskannya saja. Saya sebagai pribadi antara setuju dan tidak setuju anda boleh mengatakan apa saja di social media karena semua orang melihatnya dan semua orang bebas menginterpretasikan pesan yang anda tulis. Namun, bisakah membayangkan bila yang membaca timeline tersebut adalah orang terdekat anda dan mungkin antara anda dan orang terdekat anda sedang berada dalam situasi yang kurang menyenangkan. Apakah interpretasi yang akan ia buat? Ini pertanyaan saya kepada diri saya sendiri.

Seorang sahabat saya yang juga mentor bisnis saya pernah berkata suatu hari, "bila kamu tidak suka tentang sesuatu terhadap seseorang; entah rekan bisnismu, keluarga, teman, sahabat atau bahkan orang terdekatmu. Lebih baik katakan dengan jujur dan apa adanya. Akan sangat bijaksana bila anda menyampaikannya muka bertemu muka, hanya anda dan dia, dengan bahasa yang santun. Hindari penggunaan media lain. Itu hanya akan menimbulkan interpretasi dan anda sedang menempatkan diri sebagai pribadi pasif - agresif. Ingat, anda tidak bisa menahan interpretasi orang lain tentang sesuatu."

Maka, kembali ke timeline tadi. Mulailah saya bertanya kepada diri saya sendiri. Apakah timeline tersebut ditujukan kepada saya atau kepada orang lain? Maka bila memang ditujukan kepada saya, bagaimana saya harus berespon? Apakah saya harus mengabaikan atau bagaimana? Ataukah saya harus bertanya langsung maksudnya? Itu rasa saya. Pikiran saya? Logika saya berkata, "diamkan saja. mungkin ditujukan ke orang lain. Kalau memang ditujukan ke kamu, ya anggap saja dia memang sudah mengambil sikap seperti itu. Kenapa mesti pusing?"

Lalu mana yang saya akan pilih. Logika saya atau perasaan saya. Seperti yang biasa saya ungkapkan ke orang - orang terdekat saya. Jangan berasumsi. Asumsi itu akar dari hal yang negatif. Kalau penasaran, kenapa tidak bertanya saja?

Namun singkatnya begini. Ini hanya pendapat saya saja, kepada diri saya; bukan kepada orang lain. Mengapa tidak menjadi apa adanya? Artinya begini. Misalnya anda tidak suka sesuatu, katakan saja. Atau bila anda tidak ingin ada silahturahmi dengan orang tertentu, ya katakan saja. Itu lebih baik daripada anda mengatakan tetap mempertahankan silahturahmi namun anda tidak menunjukkannya pada perilaku anda.

Ibu saya pernah berkata, "ga usah jaim. Jadi apa adanya saja. Topeng yang kamu gunakan akan menyengsarakan kamu. Apa adanya saja. Apa adanya dengan cara yang elegan."

So, mending transparan atau bermuka dua? Saya? Apa adanya saja. Dan bila saya berespon tertentu, maka respon itu berasal dari stimulus yang anda berikan. Memilih? Tentu saja saya memilih untuk berespon yang benar bukan apa yang baik kelihatannya.

Semoga.