Wednesday, December 29, 2010

Sebuah cerita kepada Tuhan


Hening. Diam. Dadaku sesak. Diantara lingkaran – lingkaran ekuilibrium yang tanpa ujung dan setiap pertanyaan tentang kehidupan yang aku ajukan satu persatu. Tuhan, aku merasa begitu kotor. Aku tidak berjalan dalam setiap suara dan dentumanMu. Aku lunglai. Atau aku mulai tidak mempercayaimu? 

Keberpihakanmu yang tidak mampu aku mengerti dan membuat aku semakin tenggelam menjatuhkan diriku sendiri.

Dan aku terjatuh kembali. Dan aku diam – diam dan tanpa sadar memanggil namanya dalam sebuah cerita yang aku tulis sendiri.

Bila harimu tiba, masihkah aku dapat masuk dalam kediamanmu atau aku hanya melihat dari luar saja dengan sebuah penyesalanku? Begitu rumitnya pengertian itu.

Aggh. Aku hanya berusaha untuk jujur. Dan jujur itu sama dengan aku tidak lagi merasakan kebenaranmu. Aku mulai tidak mempercayaimu. Atau aku hanya ragu dan mulai tidak mempercayai diriku sendiri.

Saat semalam itu, Tuhan. Aku tak ragu akan satu hal. Aku memang mencintainya. Dalam kejujuran yang tak berurai. Aku mencintainya dalam hening dan diam. Aku mencintainya dengan caraku sendiri. Dan ia benar, Tuhan (apakah aku masih layak bercerita?). sangat sulit merapikan serpihan – serpihan puzzle menjadi utuh kembali. Atau semua hanya butuh waktu, kesempatan dan keikhlasan dan keinginan untuk merapikan kembali?

Aku hanya mengajukan pertanyaan. Sebuah kata – kata jujur diantara topeng yang aku gunakan. Aku seperti pesakitan kehidupan.

Aku ingin jujur kepada diriku sendiri. Aku mencintainya. Tidak berubah meski kuharap berkali – kali menjadi dingin. Dan ternyata aku semakin dingin kepada diriku sendiri.

Hidup punya cerita. Dan setiap keintiman yang tertoreh itu membuatku tetap berjalan dalam mimpi bodohku saja. Tidak ada kesempatan ketiga. Mungkin itu lebih baik. Bukankah itu yang aku harapkan? Bukankah aku mengharapkan kebenciannya sehingga tidak ada lagi cinta? Bukankah aku mengharapkannya kalau aku tidak pernah ada? Tetapi sekali lagi aku sesak. Aku mencintainya, Tuhan. Aku hanya inginnya bahagia. Aku hanya ingin ia hidup lebih lama. 

Bila aku boleh menukarnya, Tuhan dan kata – kata yang aku ucap dalam doaku yang tidak sempurna malam itu. Biarlah aku meninggalkannya. Biarlah kepergianku membuatnya berduka dan dendam untuk sementara. Tidak apa. Tapi biarlah ia boleh hidup untuk seseorang yang dikasihinya. Biarlah aku buruk dihadapannya. Tidak apa. Asal ia berbahagia. Asal Tuhan memberi sedikit belas kasihnya. Dan aku pergi.

Dalam pekatnya malam, aku menuliskan sebuah cerita. Bukankah aku tidak lagi berkata – kata? Aku menahan diri untuk tidak berkata – kata. Sedikit saja waktu. Mungkin begini lebih baik. Dalam pesakitan aku mencintaimu. Tapi aku tidak akan mengatakannya lagi. Begini lebih baik. Biar saat harinya tiba, tidak ada tangis dan wajah duka yang perlu aku lihat. Meski sedikit berharap dampinganmu disaat – saat terakhir nanti. Aggh. Mulai lagi aku berharap. Bukankah aku sudah berkaul, Tuhan? Mengapa lagi harusku langgar?