Wednesday, December 29, 2010

Sebuah Monolog


Mungkin hidup itu adalah sekumpulan pertanyaan – pertanyaan ketidakpastian. Antara setiap langkah dan detik yang kita lalui, setiap potret yang muncul secara berkesinambungan dan tidak terbaca dalam ramalan – ramalan bintang. Kemarin aku mencinta, sekarang aku termenung dalam dingin. Mematikan rasa, istilahnya. Salah satu bentuk mekanisme pertahanan manusia untuk tidak lagi menjadi sakit, untuk tidak terlau berharap atas sesuatu yang seakan tidak mungkin untuk direngkuh.


Rasanya, semakin menjalani hidup, semakin banyak serpihan antara realitas dan mimpi, aku tidak dapat lagi membedakan mana yang realitas dan mana yang mimpi. Seakan realitas menjadi mimpi dan mimpi menjadi realitas. Seakan semuanya adalah insepsi atas tidur panjang. Atas ketidainginan dan lari dari sebuah kenyataan.
Tadi aku terbangun tapi aku tidak tahu apakah ini mimpi atau ini kenyataan atau kenyataan diatas mimpi – mimpi yang mengelilingiku.

Dan salam itu. Seakan berasal dari mimpi yang ingin aku pendam diantara dimensi waktu yang tidak mampu terselami manusia, sebuah gerbang batas kehidupan dan kematian yang aku sendiri tidak ingin mendengarnya.

Manakah realitas? Manakah mimpi? Aku benar – benar tidak mampu membedakannya lagi.
Semalam aku bermimpi, antara kumpulan pusi Poe dan Shakespere, terbangun dalam ketiadaan dan kepasrahan atas nama kehidupan.

Aku tidak lagi berontak. Aku tidak lagi ingin menang. Aku hanya menjadi aku saja. Apa adanya. Kalaupun hari ini aku bangun, entah mimpi, entah realitas, aku masih bersyukur. Kuharap sang alam masih sedikit memihakku.

Meski bangun dalam rasa sakit. Meski mata terbuka dalam ketidakberdayaan, setidaknya aku masih bias merasakan sedikit2 matahari malu-malu menghampiri dan sengatnya menyentuh kulitku.

Terima kasih. Itu saja. Meski sayup – sayup, aku masih bias mendengar kicauan burung dari kejauhan dan deru kendaraan yang menyibukkan ibu kota atau jemari meski tertatih namun masih mampu membantuku menguraikan isi hatiku.

Kepada siapa aku dapat berbagi? Aku tidak tahu. Dan sekarang aku memilih diam dianatara heningnya batas waktu, mimpi dan realitas.