Wednesday, December 29, 2010

Soulmate: sebuah monolog


Salammu masih aku ingat. Katamu itu sebagai sebuah dukungan. Hmmh. Aku menertawakan diriku sendiri. Aku pikir lebih dari itu. Bak tubuh hendak membumbung ke langit, melayang di awan – awan. Salah sekali. Semua yang terjadi adalah sebuah bentuk partisipasi sebagai umat manusia. Tidak lebih. Mengapa aku mengharapkan lebih atas sesuatu yang tidak ingin aku bagi?Atau komitmen ini menjadi terlalu berlebihan sedangkan perasaan manusia senantiasa berubah?

Saat kesenangan dan kebahagiaan datang dan seakan semuanya baik – baik saja, dengan mudah kita mengatakan “aku mencintaimu.” Namun saat yang menyakitkan itu hadir, entah perilaku, entah perkataan, entah sikap, masih dapatkah kita berkata, “aku mencintaimu?” Mungkin rasanya yang diingat adalah rasa sakit dan melakukan pertahanan diri supaya tidak sakit lagi. Dan saat – saat seperti itu aku mempertanyakan konsep komitmen: mencintai, apapun keadaannya. Konsep ideal yang sering di dengung – dengungkan namun sesungguhnya tidak pernah menjadi realitas karena mungkin tidak ada cinta yang seperti itu di jaman sekarang ini. Mungkin yang ada sekarang hanya ucapan – ucapan yang terlihat begitu wah namun tidak berisi bila kita selidiki kedalamannya.

Dan aku, lagi mempertanyakan konsep soulmate. Aku ingat sekali istilahmu, kandidat soulmate? Apakah aku sudah menjadi soulmate mu? Sekarang aku menertawakannya. Entah apa yang ada dipikiranmu waktu itu. Aku tidak tahu bagaimana kamu mengartikannya. Tersadar, itu hanya sebuah konsep saat perasaan itu tidak dilukai. Saat dilukai? Kamu mengatakan perlu waktu menenangkan diri dan menyatukan serpihan – serpihan itu dan mungkin kamu lupa akan konsep soulmate itu. Lalu aku mempertanyakan setiap ucapanmu, apakah sungguh – sungguh atau pengaruh setiap hormon yang diproduksi didalam hipotalamus dan lobus korteks, percikan – percikan api di sel syarafmu sehingga memunculkan konsep cinta yang sebenarnya bukan cinta. Mungkin.

Kembali, aku menjadi dingin atas pesanmu, tidak bergairah seperti dulu. Kupadamkan setiap letupan – letupan yang kutahu mungkin akan berujung kepada kekecewaan. Aku tidak mau berharap lebih. Melewati hari – hari ini saja sudah cukup. Diantara menahan rasa sakit dan berjuang untuk tetap hidup. Untuk merengkuh mimpi yang masih panjang meski aku tidak tahu apakah sekarang aku berada dalam realitas atau mimpi. Bukankah hidup adalah bertahan? Aku hanya tidak mau kalah saja, tidak peduli apapun itu, termasuk rasa sakit. Ahh, andai saja kita lebih mengerti. Atau tepatnya aku lebih mengerti.