Monday, January 10, 2011

Menunggu

Vein belum juga tiba. Brrr. Udara kota ini benar-benar membuat tulang-tulangku kaku. Kuamati waktu yang berdetik ditangan kananku. “Sudah pukul delapan.” Desisku. Hmmh. Kota ini masih seperti dulu, hanya orang-orangnya saja yang berubah. Termasuk Briggita, wanita tua berusia 80 tahun yang selama empat tahun ini mengikuti kemanapun aku pergi. Aku dapat merasakan kehadirannya namun tak kunjung kutemui wujudnya. “Mengesalkan.” Gerutuku. Sidah dua jam aku menunggu tapi wanita itu belum datang juga. 
Kamu tahu bagaimana rasanya menunggu? Tentu saja. Seperti halnya memancing ikan, bisa tertangkap bisa juga tidak. Morning Caine belum juga berubah. Kota ini masih tetap sama saat aku mengunjunginya sepuluh tahun yang lalu. Hanya saja, kota ini terasa bertambah dingin hingga kulit yang menyelimuti tubuhku seakan lepas dari tempatnya.

“Hai, Rei, sudah lama menunggu?” Tanya seorang gadis muda yang ternyata bernama Anzu, seorang Jepang. Baik Rei maupun Anzu terdiam dan berjalan dengan pikirannya masing-masing. “Apakah kamu sudah melihat batang hidungnya Vein?” Tanya Anzu. “Kupikir ya. Ia akan datang sebentar lagi.” Sahut Rei. Aku tercengang mendengar percakapan mereka. Tidak tahu apakah hal itu sebagai suatu kebetulan. Nama orang yang mereka cari sama dengan wanita yang sedang kutunggu selama dua jam. 

“Menyenangkan, bukan?” Desis Rei. Anzu merapikan mantel kotak-kotaknya. “Ya, ia masih tetap sama, acapkali lupa menepati janji.” Aku tersenyum tipis. Orang yang sedang kutunggupun senang melupakan janji-janjinya. Aku tidak habis pikir mengapa orang itu bisa hidup sampai saat ini. Anzu berjalan mondar-mandir. “Menyenangkan bukan?” desisnya. Rei membetulkan topi merahnya yang hampir terbawa angin. “Kita akan menunggunya, bukan?” Tentu. Akupun akan menunggunya. Ku harap kami memang menunggu orang yang sama sehingga aku bisa melampiaskan kekesalanku. Mereka aneh. Pikirku. Ku amati mereka berdua. Keduanya sama-sama cantik. Hanya yang satu begitu eksentrik dengan baju bercorak kuning dan merah sedang yang lain mengenakan empat lapis pakaian berwarna hitam. “Apakah ia merasa begitu dingin?” Pikirku.

Matahari di Morning Caine kian menunduk malu. Aku, maupun kedua orang itu masih berdiri di tempat yang sama. “Apakah kita akan menunggunya?” Tanya Rei yang berjalan mondar-mandir menunggu wanita itu. “Ya, keadaanku sedang baik saat ini.” Entah seperti apa wajah Vein saat ini. Sudah lama aku tidak bertemu dengan pria itu. Sesaat aku begidik. Sorot mata wanita berusia 80 tahun itu menatap dengan sadis ke arahku. Jantungku berdegup keras. Perlan-pelan ia menuju ke arahku. Sorot matanya yang tajam seakan-akan membunuhku. Tetapi tetap sama. Aku tidak dapat mengenali wajahnya. Kurtz membisu di antara tiang-tiang penunjuk jalan itu. Aku sangat ketakutan. Dapatkah aku melarikan diri dari hadapannya? Namun, sebentar saja ia menghilang dibalik oak. Aku bisa menarik napas sedikit bebas. 

Vein belum datang juga. Aku tidak tahu bagaimana cara mendorong dia kemari. “Kita menunggunya, bukan?” Rintih Anzu. Tidak, aku tidak mau menunggunya lagi. Aku bosan dan wanita itu tidak layak memperoleh kesabaranku untuk menunggunya. Ia tidak layak mendapat perlakuan baikku. “Ya, sebentar lagi kita akan pergi.” Rei membetulkan tali sepatunya, kemudian mengambil sebuah bacaan. Kulirik sebentar. Puisi karya Poe ‘visit if the death’ . menarik. Bukankah kehidupan satu orang merupakan kematian bagi yang lain? Aku tertunduk. Tidak! Hidup manusia adalah hidupnya sendiri. 

Ku yakinkan diriku untuk tidak lagi menunggu wujud Vein tetapi aku tidak kunjung beranjak dari tempatku berdiri, begitu pula kedua wanita itu. “Sudah begitu lama Vein tidak datang, apakah kita akan meninggalkannya?” Rei mengajukan pertanyaan yang sama pada wanita eksentrik itu. “Ya, kita akan menunggunya sebentar lagi.” Sahut Anzu tidak peduli. “Bunga itu tidak lagi indah karena tertelan matahari, Rei. Tidakkah kamu merasakannya?” Desis Rei. Ya, sebentar lagi kita akan meninggalkannya.” Ungkap Rei.

Langit kian gelap. Kehadiran matahari digantikan dengan remang-remang lampu jalan. Cukup sudah aku menunggu persona itu. Entah kenapa saat ini aku begitu membencinya. Aku tidak akan menunggunya lagi. Kedua wanita itu masih menunggunya. Mengapa mereka berlama-lama disini? Tidakkah ada pekerjaan lain yang menunggu yang seharusnya bisa terselesaikan? Aku menertawakan mereka dalam hati. Mereka begitu bodoh.

Rei kembali membetulkan tali sepatunya yang mulai berteriak kesakitan. Ku rasa iapun bosan menungg sosok Vein. Lain sisi, untuk kedua kalinya topi merah Anzu hampir terbawa angin. “Kita pergi meninggalkannya sekarang?” Tanya Rei. “Ya, sebentar lagi aku menyelesaikan masalahku.” Jawabnya. Langit diam, aku diam, begitu juga kedua orang itu. Semua terlihat seperti pemakaman jalan dimana kami berdiri tidak lagi dilewati seorangpun. Baik Rei maupun Anzu masih berada pada tempatnya semula. Tapi, kurasa, sebentar lagi mereka akan pergi, seperti halnya aku, akan meninggalkan gadis sempurna itu. Akupun yakin bahwa topi merah yang dikenakan Anzu akan memilih bersama angin daripada menunggu wanita tak berguna itu. Baik aku, Rei maupun Anzu tidak bergeser dari posisi semula tapi sebentar lagi kamu tidak akan menunggunya.

“Kita akan pergi sekarang?” Rei mengajukan usul. “Ya, kita akan berangkat sekarang.” Ujar Anzu mantap. Aku tatap mereka dari oak. Aku tidak mengerti,  merekapun tidak. Aku maupun mereka masih di posisi yang sama tapi kami akan meninggalkannya.

27 Januari 2003