Monday, January 3, 2011

Ketika mengembangkan diri adalah pilihan....

Saat kita ingin berkembang, 
kita harus berani merelakan dan melepaskan; 
Apapun bentuknya... sesuatu yang sangat kita cintai dan kita benci
Seseorang, pekerjaan, mimpi, cinta, tempat dan macamnya
Saat kita ingin berkembang, 
kita harus berani mengampuni dan melupakan;

Orang yang menyakiti kita, kejadian dan peristiwa.....
Saat kita ingin berkembang....
Kita harus berani meletakkan satu langkah kedepan 
sebagai permulaan
Untuk seribu langkah yang akan kita lalui
Karena bila takdir itu memang ada, 
kitalah yang harus menguasainya
Meski kita bukan yang menentukan takdir itu sendiri

Salah satu sebab mengapa aku senang bermain dan mengamati polah tingkah anak - anak karena mereka adalah individu - individu yang sangat berani mengambil resiko, antusias mempelajari hal baru dan dengan mudah melupakan sesuatu, atau bila saya boleh mengatakan rasa sakit. This is the real children! yang seringkali kekuatiran orang tua membuat mereka menjadi "not the real one".

Jadi ingat salah satu tingkah seorang anak didik beberapa tahun lalu. Seorang bocah perempuan berusia tiga tahun yang sangat aktif. Dan aku menyebutnya seperti bola bekel, yang bila anda memberikan satu stimulus, bola itu akan terus memantul dan tidak berhenti. Satu kali, sang anak bermain kucing -kucingan dengan anak sebayanya. Riweuh, menurutku. Bisa bayangkan sepuluh anak kecil dilepas di lapangan dan mereka berlarian seperti anak ayam lepas dari kandang? :-p. Saking serunya sang bocah perempuan ini terjatuh karena tersandung kaki temannya. Tentu saja seperti biasanya anak kecil. Menangis kesakitan dan marah dengan temannya, yang aku tahu ia adalah salah satu teman dekatnya. Marah dan tidak mau bergabung lagi? Iya. Dia menyendiri dan masih marah dengan teman mainnya meski ia sudah minta maaf.

Sebentar saja, aku rasa. Karena lima menit kemudian sang bocah kembali ikut berlarian dan menggandeng temannya tadi. Dan aku? Seperti biasa. Bengong. Rasanya bagi seorang dewasa tidak mudah secepat itu menjadi pulih. Aku panggil dia dan bertanya mengapa begitu. Jawaban sederhana, "karena aku senang bermain dan diakan temanku." Karena baginya bermain menyenangkan sehingga hal - hal lain bukan menjadi pokok perjalanannya.

Kita yang dewasa, alih - alih tidak mau lagi disakiti atau terlalu mencintai sesuatu hingga kita menjadi pribadi - pribadi yang tidak berani untuk memulai lagi. Mungkin tepatnya bukan kita, tetapi saya. Dengan berbagai dalih dan tetek bengeknya kita berusaha mempertahankan kondisi kita, membiarkan luka atau pengalaman buruk menjadi bagian kita dengan dalih belajar dari masa lalu. Iya, masa lalu supaya aku menjadi terlalu berhati - hati supaya tidak dilukai lagi? Atau mempertahankan sesuatu begitu rupa dengan alasan supaya aku tidak kehilangan? Waduh egoisnya aku. Dengan banyak dalih, aku menjadi orang yang kesannya dewasa tapi kalah dengan si bocah tadi. Takut disakiti dan dilukai, aku tidak mau melupakan atau bertemu dengan orang yang menyakiti aku. Boro - boro bertemu, menyapa lewat dunia maya saja ogah. Trus, siapa yang sebenarnya lebih dewasa? Aku atau si bocah?

Kalau bocah tadi mengembangkan dirinya dengan mau bermain lagi dan lupa bahwa kakinya luka, juga kembali menggandeng teman yang sudah melukainya bahkan luka kalau temannya pernah melukainya, trus gue? Wuihh. Boro - boro. Kesalahan kecil saja aku simpan dengan dalih supaya orang itu tidak mengulanginya. Pantas aja ini jantung tidak mau kompromi atau sebentar - sebentar flu. Atau lagi - lagi mimisan. Darr. Wong aku menyimpan banyak rasa pahit dengan dalih orang lain telah menyakiti. Padahal, ya pilihan aku saja kalau merasa disakiti. Karena merasa disakiti itu pilihan dan mengampuni itu juga pilihan.

Trus ada yang pernah bilang, mungkin aku juga pernah mengatakannya. "iya, gue sudah mengampuni dia. Tapi melupakan apa yang dia pernah lakukan, jangan harap deh!" Lah, bisa begitu. Ya, mengampuni toh mengampuni saja. Tanpa dalih. Kalau Sang Khalik bisa menegur keras, bisa saja dibilang begini, "Woii, Gue aja kaga ngingat - ingat dosa elo. Koq elo? Apa hak elo!" Kalau begini, siapa yang sebenarnya menjadi tuhan?

Kembali lagi. Ya semuanya pilihan. Pilih untuk mau berkembang lebih baik dari sekarang or tetap mengingat - ingat hidup kita yang begitu - begitu saja? Mencintai itu pilihan. Membenci juga pilihan (disertai akibat sakit asma, jantung, kolesterol, de el el). Melepaskan itu pilihan. Mempertahankan juga pilihan (trus nangis bombay karena kehilangan).

So, buatlah pilihan yang bijak. Ya seperti si bocah tadi. Trus gue? .......