Monday, January 10, 2011

Sebuah danau

Aku duduk sendirian. Telaga danau kian legam, terpuruk oleh hilangnya sinar sang siang. Danau ini masih sama. Kuteliti kedalamannya satu persatu. Masih sama dengan yang kulihat sepuluh tahun yang lalu. Kurebahkan tubuhku di antara rerumputan. Sang surya kian tenggelam dan aku tidak bisa melihat perut sang pemberi kehidupan.

Entah siapa yang tahu akan hari esok bahkan mahluk-mahluk yang tinggal di danaupun tidak. Sekarang hanya gemerisik dedaunan yang terbuai oleh angin. Sekarang pun aku tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku. Seumpama katak yang menjorok jauh di balik rerumputan dan mencari makan untuk menyambung hidup  aku masih berdiam ditempat yang sama. Menunduk ditengah kasarnya sang kera putih. Aku makin tidak mengerti hendak aku kemanakan bait-bait putih ditengah kungkungan sang pemburu.
Aku muak. Danau ini adalah saksi gejolak yang ada dalam diri. Danau ini juga tempat aku ada selama dua tahun ini. Aku bangkit dari tempatku sekarang dan kulangkahkan kakiku menuju sebuah tempat yang tidak dikenal oleh sang danau.
Pagi ini pun aku kembali ke tepi danau, masih sama. Apakah isi didalamnya masih sama seperti yang aku lihat, aku tidak tahu. Tapi, kupikir masih sama. Semua yang ada didalamnya mengandalkan kekuatan danau untuk bertahan hidup. Begitukah? Itupun aku tidak tahu. Aku pilih salah satu sudut yang menjorok ke danau dan bersandar pada salah satu pohon yang tertancap pada kerasnya sang pemberi hidup itu. Kita hanya menumpang, ya hanya menumpang dan sering kali tanpa sadar bahwa hidup kita dikuasai ganasnya sang alam. Hmmm. Aku menghela napas panjang. Semua tidak berubah, namun kedalaman danau itu ada yang berubah. Ada yang mati didalamnya. Mahluk kecil berwarna biru yang begitu manis menggeliat-geliat didalamnya. Itu yang aku lihat dahulu. Tapi sekarang tidak lagi. Tidak ada lagi penghuni danau berwarna biru. Tidak ada lagi geliatan-geliatan yang acapkali membuat aku terpesona. Ia mati, bersamaan dengan hilangnya emosi yang ada dalam dadaku.
Siapa yang salah, aku tidak tahu. Sebab kematiannya pun aku tidak mengerti. Semua terjadi begitu saja tanpa aku mengerti. Ia tinggal di danau, dan ia mati juga di dalam danau itu. Siapa yang merayakan kematiannya, siapa juga yang merayakan kelahirannya. Ia ada begitu saja dan hilang tanpa seorangpun mengetahuinya. Mungkin sang danau tahu, tetapi aku tidak yakin. Ia hanya secercah mahluk yang dikuasai sang alam. Angin bertiup semilir. Hatiku bergejolak. Ada kemarahan yang terpendam begitu lama, sama halnya kematian sang mahluk biru. Ia bergejolak dan bergejolak. Aku dihianati. Diriku dihianati oleh perasaanku sendiri. Sang pujangga hanyalah pelengkap yang membawaku masuk dalam kehidupan sang api. Diriku dihianati oleh gelombang yang ada dalam pikiranku sendiri. Dan sang danau pun dihianati oleh isinya sendiri. Apa yang harus aku lakukan, akupun tidak tahu. Aku juga tidak tahu dengan keadaaan sebuah danau yang menggeliat lepas di depanku.
Aku bangkit berdiri dari pojok itu. Sebentar saja aku sudah mengelilingi danau di hadapanku. Danau ini tidak lagi sama. Hmm, mengapa aku menegaskan kepadamu sekali lagi? Entahlah. Aku tidak tahu. Hanya saja aku merasa terganggu dengan keadaan ini. Dan ….aku pikir aku perlu berbicara. Apakah sang danau mengenal tempat aku meletakkan tubuhku tadi? Rasanya tidak. Sekarang ia hanya perduli dengan dirinya sendiri dan aku muak dengan keegoisannya.
Aku lelah, lelah melangkah menelusuri tepi danau ini, namun kakiku tak mau berhenti juga. Sakit rasanya. Agghh, sang danau merasakan kepedihannya. Ia sekarang sendirian, aku juga.
Lelah dan aku mengambil keputusan duduk ditepi danau dan seekor mahluk menemani kesendirian danau dimana aku berada sekarang. Ia menggeliat- geliat menuju danau namun tanah disekitarnya tak menyambut dia dengan ramah. Ia kesakitan, namun danau dan tanah disekitarnya tak menunjukkan belas kasihannya. Ia berubah, semua berubah. Andai aku boleh kembali ke beberapa tahun silam maka aku akan kembali merengkuh gejolak yang mendampingiku.
Oh, God. Apa yang terjadi denganku? Mengapa semuanya begitu semu dan tak dapat aku mengerti. Ku tutupi wajahku dengan kedua belah tanganku. Uggh, aku tidak mengerti sama sekali. Sebentar saja ada kemudian hilang. Apa yang ada di gejolak sang alam sehingga aku kesulitan untuk mengenali sosoknya kembali. Aku tersungkur. Duhhh, sang danau, mengertikah engkau arti sebuah kekosongan?